MAKALAH AIK AQIDAH DAN RUHANIYAH (ALAM DAN MAHLUK GHOIB)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Manusia merupakan makhluk yang sangat rentang digoda oleh setan. Oleh
karena itu, manusia harus memiliki sesuatu yang dapat menjadi pegangan dalam
hidupnya. Jawabannya ialah aqidah. Aqidah baik sangatlah diperlukan dalam
kehidupan agar kehidupan tidak berjalan seperti layaknya kehidupan dijaman
jahiliyah.
Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar
terhadap alam dan kehidupan, karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran
dirinya. Oleh karena itu, jika seseorang beraqidah dengan benar, niscaya
akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah
salah dan melenceng maka akhlaknya pun akan tidak benar. Aqidah seseorang akan
benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya terhadap Allah juga lurus dan
benar.
Sangat pentingnya pembahasan tentang aqidah inilah yang membuat penulis
tertarik untuk mengulas sedikit tentang aqidah dalam kehidupan.
1.2 Rumusan
masalah
a. Pengertian Aqidah Ruhaniyah
b. Urgensi Keimanan Kepada Alam Dan Makhluk Ghoib
c. Macam-macam Makhluk Ghoib
d. Implementasi Keimanan Kepada Makhluk Ghoib
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aqidah Ruhaniyah
Kata “‘aqidah” diambil dari kata
dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth (ikatan), al
ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi
kokoh, kuat) asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat) at-tamaasuk (pengokohan)
dan al-itsbaatu(penetapan). Diantaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) al-jazmu (penetapan).
“Al-‘aqdu”
(ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut
diambil dari kata kerja: “ ‘ Aqadahu” “Ya’qiduhu” (pengikatnya), “’aqdan”
(ikatan sumpah), dan “’uqdatun nikah” (ikatan menikah) allah taala berfirman, :
Allah tidk menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja…’.(QS.al-maidah: 89 ).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada
orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya
adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah
dengan adanya Allah dan diutusnya pada rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah
aqa-id.
Jadi
kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti
adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
Pengertian
aqidah secara istilah (terminologi) yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh
hati dan jiwa menjadi tentram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang
teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan
kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada
orang yang meyakininya. Dan harus sesuai dengan keyataannya; yang tidak
menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat
keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan akidah. Dinamakan akidah, karena
orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Akidah
ruhaniyah (metafisis) yaitu meyakini, menjiwai, memahami, segala sesuatu yang
bersifat ghoib (tidak terdeteksi oleh panca indra).
Masalah-masalah dan
prakara-prakara yang wajib bagi seorang muslim untuk mengimaninya
(mempercayainya) didalam kaitannya dengan akidah islam dimungkinkan untuk
dibagi kedalam 4 macam :
• Ketuhanan , yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
Allah SWT, baik itu nama-namaNya dan juga sifat-sifatNya.
• Kenabian dan risalah, yaitu yang berkaitan dengan
seputar para Rosul, Nabi-Nabi, keunggulannya, sifat-sifatnya,
mukjizat-mukjizatnya, dan juga kemaksumannya.
• Ruhaniyah, yaitu yang berkaitan dengan alam yang tidak
nampak secara kasat mata, seperti adanya Malaikat, Jin, Syetan, dan ruh.
• Sam’ihyat, yaitu berita-berita dari alam ghoib yang
tidak ada yang mengetahuinnya (kecuali Allah) yang disebut dalam Al-Quran dan
sunnah Nabi.
B. Urgensi Keimanan Kepada Alam Dan Makhluk Ghoib
Alam ghoib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam
ghoib, ada yang Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan
kepada seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya :
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا
إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ
وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ
وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya : “ Dan hanya disisi Allah-lah semua yang
ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri , dan dia mengetahui apa
yang ada didaratan dan dilautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan
Dia menngetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapa bumi
dan tidaklah ada sesuatu yang basah dan yang kering, melainkan tertulis dalam
kita yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Al-An’am : 59)
Tentang hal ini, Nabi Nuh as berkata, sebagaimana
dalam firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ
الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ
غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : “ sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan
tentang (kapan terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui
(dengan pasti) apa yang dia dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun yang
bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman : 34)
Hal ini sebagai mana yang dinyatakan Rasulullah
Shallallahu’alaihiwa sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan
terjadinya hari kiamat :
“termasuk
dari lima perkara (ghoib) yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata.
Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman tersebut)”. (HR. Al-Bukhari dalam
Shahih-nya no. 50, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)
Al-Iman
Al-Qurtubi rahimahullahu berkata : “Berdasarkan hadist ini, tidak ada celah
sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari
lima perkara (ghoib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan firman Allah QS.
Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara ghoib (yang terdapat dalam QS.
Luqman : 34) tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari”.
Diantara
perkara ghoib, ada yang diberitakan Allah Subhanahuwa Ta’ala kepada para Rasul
yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa
sallam. Allah berfirman :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
(٢٦)
(إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
(٢٧
Artinya : “(Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala)
Yang Maha Mengetahui perkara ghoib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorang pun tentang perkara ghoib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan
Rasul”. (QS. Al-Jin : 26-27)
مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا
أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ
اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ
رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا
وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghoib, akan tetapi Allah memilih
siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya”. (QS. Ali Imran :179)
Maka
dari itulah, perkara ghoib tidak mungkin diketahui secara pasti dan benar
kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Lalu
bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara ghoib tanpa
bersandar kepada keterangan dari keduanya?
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barang siapa mengetahui bahwa dirinya
mengetahui perkara ghoib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasullullah
Sallallahu’alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya
tersebut”.
Apakah
jin (setan) mengetahui perkara ghoib? Jawabannya adalah : Tidak. Jin tidak
mengerti perkara ghoib, sebagaimana yang Allah nyatakan :
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ
عَلَى مَوْتِهِ إِلا دَابَّةُ الأرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ
تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي
الْعَذَابِ الْمُهِينِ
Artinya : “Mata tatkala Kami telah menetapkan kematian
Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu
kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur,
tahukah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghoib tantulah
mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan”.
(QS. Saba’ :14)
Adapun
apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia (dukun,
paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghoib, maka itu semata-mata
dari hasil mencuri pendengaran di langit-langit. Sebagaimana firman Allah
Subhanallahu wa Ta’ala:
(وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ (١٧) إِلا
مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِينٌ (١٨
Artinya : “Dan Kamu menjaganya (langit) dan tiap-tiap
setan yang terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat
didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang”.
(QS.Al-Hijr:17-18)
C. Macam-macam Makhluk Ghoib
Allah
membedakan atas alam ghoib (seperti Allah, malaikat, jin, surga, dan neraka)
dan alam tampak. Allah-lah yang paling mengetahui kedua alam tersebut.
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ
الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Artinya : “Dialah Allah yang tidak ada ilah kecuali
Dia, yang mengetahui yang ghoib dan yang tampak”. (QS. Al-Hasyr : 22)
قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ
فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي
أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ
تَكْتُمُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Aku mengetahui segala yang
ghoib di langit dan di bumi dan Aku mengetahui apa yang kalian tampakkan dan
apa yang kalian sembunyikan”. (QS. Al-Baqarah : 33)
Kita
harus beriman kepada yang ghoib. “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya
sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman
kepada yang ghoib….” (QS. Al-Baqarah : 2-3). Tetapi kita hanya bisa mengetahui
yang ghoib secara benar dengan cara ikhbari, yakni sejauh apa yang dikemukakan
oleh Allah dan Rasul-Nya (al-Quran dan as-Sunnah).
Alam
ghoib yang diciptakan oleh Allah merupakan ujian bagi manusia selama ia hidup
di dunia. Manusia diuji apakah ketika di dunia dia beriman kepada Allah, Hari
Akhir, surga, neraka, pahala akhirat dan sebagainya – yang mana semuanya itu
tidak tampak – ataukah dia mengingkarinya.
1. Malaikat
Malaikat merupakan tentara-tentara Allah yang
ditugaskan untuk urusan-urusan tertentu. Diantara malaikat-malaikat Allah kita
mengenal antara lain malaikat yang sepuluh, delapan malaikat yang mengusung
Arsy Allah.
وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ
رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
Artinya : “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru
langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di
atas (kepala) mereka”. (QS. Al-Haaqqah : 17)
Dan
malaikat-malaikat yang ditugaskan untuk menolong orang-orang mukmin yang sedang
berjihad.
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ
أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
Artinya : “Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan
kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan
mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang
berturut-turut”. (QS. Al-Anfal : 9).
Sifat-sifat Malaikat :
a. Memiliki 2 atau 3 sayap (QS Faathir :
1), kecuali jibril yang merupakan malaikat yang paling besar – memiliki 600
atau 700 sayap (Shahih Al-Bukhari)
b. Suka berkumpul di majelis dzikir atau ilmu sembari
memohonkan ampun bagi yang ada disitu dan mengepak-ngepakkan sayap mereka
sebagai tanda ridha.
c. Merupakan tentara-tentara Allah yang tidak pernah
bermaksiat (membangkang) atas perintah Allah kepada mereka dan senantiasa
mengerjakan apa yang telah diperintahkan Allah kepada mereka.
d. Tidak menikah, tidak makan, dan tidak minum.
e. Tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat
patung-patung atau gambar-gambar yang diharamkan.
f. Menyukai tempat-tempat yang bersih
Malaikat
adalah makhluk ghoib yang diciptakan Allah dari cahaya, senantiasa menyembah
Allah, tidak pernah mendurhakai perintah Allah serta senantiasa melakukan apa
yang diperintahkan kepada mereka. Keimanan kepada malaikat mengandung 4 unsur,
yaitu:
Pertama : Mengimani adanya malaikat.
Yaitu
kepercayaan yang pasti tentang keberadaan para malaikat. Tidak seperti yang
dipahami oleh sebagian orang bahwa malaikat hanyalah sebuah ‘kata’ yang
bermakna konotasi yang berarti kebaikan atau semacamnya. Allah Ta’ala telah
menyatakan keberadaan mereka dalam firman-Nya yang artinya : “Sebenarnya
(malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak
mendaului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”.
(QS. Al-Anbiyaa’ : 26-27)
Kedua : Mengimani nama-nama malaikat telah yang kita ketahui, sedangkan
malaikat yang tidak diketahui namanya wajib kita imani secara global.
Di
antara dalil yang menunjukkan banyaknya bilangan malaikat dan tidak ada yang
dapat menghitungnya kecuali Allah Ta’ala adalah sebuah hadits shahih yang
berkaitan dengan baitul makmur. Di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallau
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya baitul makmur berada dilangit yang
ketujuh setentang dengan Ka’bah di bumi, setiap hari ada 70 ribu malaikat yang
shalat di dalamnya kemudian apabila mereka telah keluar maka tidak akan kembali
lagi”. (HR. Bukhari & Muslim)
Ketiga : mengimami sifat-sifat malaikat yang kita ketahui.
Seperti
misalnya sifat jibril, dimana Nabi mengabarkan bahwa beliau Shallallahu’alaihi
wa sallam pernah melihat jibril dalam sifat yang asli, yang ternyata
mempunyai enam ratus sayap yang dapat menutupi cakrawala (HR. Bukhari). Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat malaikat Jibril dalam bentuk
aslinya yang mempunyai enam ratus sayap, setiap sayap menutup ufuk, dari
sayapnya berjatuhan berbagai warna, mutiara dan permata yang hanya Allah
sajalah yang mengetahui keindahannya”.
Dalam
hadits di atas disebutkan bahwa malaikat sayap dengan berbagai warna. Hal ini
menunjukkan kekuasaan Allah‘Azza wa Jalla dan memberitahukan bentuk
Jibril ‘alaihissalam yang mempunyai enam ratus sayap, setiap sayap menutup
ufuk. Kita tidak perlu mempersoalkan bagaimana Rasullullah shallalluhu
‘alaihi wa sallam dapat melihat enam ratus sayap dan bagaimana pula
cara beliau menghitungnya? Padahal satu sayap saja dapat menutupi ufuk? Kita
jawab: “Selagi hadits tersebut shahih dan para ulama menshahihkan
sanadnya maka kita tidak membahas mengenai kaifiyat (bagaimananya), karena
Allah Maha Kuasa untuk memperlihatkan kepada Nabi-Nya Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam hal-hal yang tidak dapat dibayangkan dan dicerna
oleh akal fikiran”.
Allah ta’ala menceritakan
bahwa sayap yang dimiliki malaikat memiliki jumlah bilangan yang berbeda-beda.
Artinya : “Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam
urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat.
Allah menambahkan pada ciptaan-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS.Faathir:1)
Sifat
malaikat yang lain adalah terkadang malaikat itu dengan kekuasaan Allah bisa
berubah bentuk menjadi manusia, sebagaimana yang terjadi pada Jibril saat Allah
mengutusnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengajarkan pada manusia apa itu Islam, Iman dan Ihsan. Demikian juga dengan
para malaikat yang diutus oleh Allah kepada Ibrahim dan Luth ‘Alaihiwasallam, mereka
semua datang dalam bentuk manusia. Para malaikat adalah hamba-hamba Allah yang
senantiasa mentaati apa yang diperintahkan oleh Allah dan tidak pernah
mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keempat: mengimani dengan apa yang kita ketahui tentang pekerjaan-pekerjaan
malaikat.
Kita
mengimani dengan apa yang kita ketahui tentang pekerjaan-pekerjaan mereka yang
mereka tunaikan berdasarkan perintah Allah Ta’ala, seperti
bertasbih (mensucikan Allah) dan beribadah kepada-Nya tanpa kenal lelah dan
tanpa pernah berhenti. Di antara para malaikat, ada yang memiliki tugas khusus,
misalnya:
1. Jibril ‘alaihissalam yang
ditugasi menyampaikan wahyu dari Allah kepada para Rasul-Nya ‘alaihimussalam.
2. Mikail yang ditugasi
menurunkan hujan dan menyebarkannya.
3. Israfil yang ditugasi
meniup sangkakala.
4. Malaikat Maut yang ditugasi
mencabut nyawa. Dalam beberapa atsarada disebutkan bahwa malaikat
maut bernama Izrail, namun atsar tersebut tidak shahih. Nama yang
benar adalah Malaikat Maut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala yang
artinya: “Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu
akan mematikan kamu”. (QS. As-sajdah:11)
5. Yang ditugasi menjaga
amal perbuatan hamba dan mencatatnya, perbuatan yang baik maupun yang buruk,
mereka adalah para malaikat pencatat yang mulia. Adapun penanaman malaikat
Raqib dan ‘Atid juga tidak memiliki dasar dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka
kita menanamkan malaikat sesuai dengan apa yang telah Allah namakan bagi
mereka.
6. Yang ditugasi menjaga
hamba pada waktu bermukim atau bepergian, waktu tidur atau ketika jaga dan pada
semua keadaannya, mereka adalah Al-Mu’aqqibat.
7. Para malaikat penjaga
surga. Ridwan merupakan pemimpin para malaikat di surga (apabila hadits tentang
hal itu memang sah).
8. Sembilan belas
malaikat yang merupakan pemimpin para malaikat penjaga neraka dan permukaannya
adalah malaikat Malik.
9. Para malaikat yang
diserahi untuk mengatur janin di dalam rahim. Jika seorang hamba telah sempurna
empat bulan di dalam perut ibunya, maka Allah Ta’ala mengutus
seorang malaikat kepadanya dan memerintahkannya untuk menulis rezekinya,
ajalnya, amalnya dan sesangsara atau bahagianya.
10. Para malaikat yang
diserahi untuk menanyai mayit ketika telah diletakkan di dalam kuburnya. Ketika
itu, dua malaikat mendatanginya untuk menanyakan kepadanya tentang Rabb-Nya,agamanya
dan nabinya.
Kesalahan-kesalahan
Terdapat
kesalahan-kesalahan yang merusak keimanan kepada malaikat. Bahkan bisa jadi
kesalahan itu membawa kepada kekufuran –na’udzu billahi min
dzalik-. Oleh karena itulah, kita berlindung kepada Allah agar tidak
terjatuh dalam kesalahan tersebut. Beberapa kesalahan yang ada adalah:
1. Mengatakan bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah.
Sungguh inilah yang juga dikatakan kaum musyirikin. Maha Suci Allah dari
anggapan ini. Hal ini terdapat dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan mereka
menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka
sendiri apa yang mereka sukai”.(QS. An-Nahl : 57)
2. Beribadah kepada para malaikat. Padahal jika mereka mau merenungi ayat-ayat
Al-Qur’an, akan jelas ditemukan bahwa para malaikat itu sendiri hanya menyembah
kepada Allah semata. Walaupun mereka diberi berbagai kelebihan oleh Allah,
mereka tetaplah makhluk Allah Ta’ala. Allah Ta’ala
berfirman, “Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi
Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan
hanya kepada-Nya lah mereka bersujud”.
3. Menanamkan para
malaikat dengan nama-nama yang tidak ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam
Al-Qur’an dan tidak disampaikan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wasallam.Seperti misalnya menanamkan malaikat maut dengan nama Izroil,
malaikat pencatat amal dengan nama Roqib dan Atid.
4. Mengatakan bahwa
malaikat-malaikat adalah pembantu Allah. Maha Suci Allah dari perkataan seperti
ini. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah yang menciptakan para
malaikat tersebut. Dan segala makhluk yang diciptakan Allah adalah membutuhkan
Allah. Malaikat-malaikat tersebut pun melaksanakan tugas-tugasnya karena
diperintah oleh Allah dan diberi kemampuan untuk melaksanakannya. Kesalahan
anggapan ini adalah termasuk dari kesalahan pemahaman karena menyamakan Allah
dengan makhluk, dalam hal ini adalah menyamakan Allah dengan kondisi para raja
yang membutuhkan pembantu-pembantu untuk melaksanakan pekerjaannya. Dan ini
termasuk dalam hakikat kesyirikan, -na’udzubillah mindzalik-.
Buah keimanan kepada malaikat
Beriman
kepada para malaikat memiliki pengaruh yang agung dalam kehidupan setiap
mukmin, di antaranya dapat kita sebutkan:
1. Mengetahui keagungan,
kekuatan serta kesempurnaan kekuasaan-Nya. Sebab keagungan (sesuatu) yang
diciptakan (makhluk) menunjukan keagungan yang menciptakan (al-Khaliq).
Dengan demikian akan menambah pengagungan dan pemuliaan seorang mukmin kepada
Allah, dimana Allah menciptakan para malaikat dari cahaya dan diberi-Nya
sayap-sayap.
2. Senantiasa istiqomah (meneguhkan
pendirian) dalam menaati Allah Ta’ala. Karena barangsiapa beriman
bahwa para malaikat itu mencatat semua amal perbuatannya, maka ini
menjadikannya semakin takut kepada Allah, sehingga ia tidak akan berbuat
maksiat kepada-Nya, baik secara terang-terangan maupun secara
sembunyi-sembunyi.
3. Bersabar dalam menaati Allah serta merasakan ketenangan dan kedamaian.
Karena sebagai seorang mukmin ia yakin bahwa bersamanya dalam alam yang luas
ini ada ribuan malaikat yang menaati Allah dengan sebaik-baiknya dan
sesempurna-sempurnanya.
4. Bersyukur kepada Allah atas perlindungan-Nya kepada anak Adam, dimana ia
menjadikan sebagian dari para malaikat sebagai penjaga mereka.
5. Waspada bahwa dunia ini adalah fana dan tidak kekal, yakni ketika ia ingat
Malaikat Maut yang suatu ketika akan diperintahkan untuk mencabut nyawanya.
Karena itu, ia akan semakin rajin mempersiapkan diri menghadapi hari Akhir
dengan beriman dan beramal shalih.
2. Jin
Jin dan manusia yang dua makhluk Allah yang dibebani
dengan syariat agama, sehingga dikenal pahala dan siksa. Semua jin bisa
meninggal dunia kecuali Iblis dan keturunannya yang ditangguhkan kematiannya
sampai Hari Kiamat. Iblis dahulunya juga jin tetapi setelah menolak sujud
kepada Adam atas perintah Allah, ia beserta keturunannya dilaknat oleh Allah.
Jadi Iblis dan keturunnannya kafir seluruhnya, berbeda dengan jin yang terdiri atas
mukmin dan kafir. Jin yang kafir ini sering juga disebut sebagai syaithan
karena memiliki sifat yang serupa. Di samping itu, istilah syaithan juga
dipakai untuk manusia yang memiliki sifat-sifat syaithan. Adapun jin yang
muslim, sebagaimana manusia, ada yang benar-benar taat dan ada pula yang suka
berbuat maksiat.
Jin juga
menikah, makan, dan minum. Keduanya tinggal di alam yang tidak terlihat oleh
manusia, tetapi mereka bisa melihat manusia. Tetapi jika mereka menampakkan
diri di alam tampak dalam wujud alam tampak maka manusia bisa melihat mereka.
Syaithan dan
jin yang ingkar menyukai tempat-tempat yang kotor dan juga rumah-rumah yang
tidak dibacakan Al-Qur’an di dalamnya dan rumah-rumah yang penghuninya tidak
pernah berdzikir kepada Allah.
Fakta mengungkapkan adanya dua
khutubextreme dalam mensikapi masalh jin. Sebagian orang tidak
mengambil perhatian bahkan tidak mau tahu. Di sisi lain, terdapat pula sebagian
orang yang tersesat dalam kemusyrikan karena salah dalam memahami masalah ini,naudzubillahi
min dzalik. Padahal kita yakin bahwa Islam adalah agama yang moderat
dancomprehensive. Bagaimana sebenarnya Islam mengatur tentang
alam ghoib dan jin?
Ada tiga point penting dalam
pembahasan dalam materi ini.
~ Pertama, sebagai seorang musllim, kitra
harus beriman kepada yang ghoib seperti meyakini adanya jin dan syaithan,
percaya akan kabar-kabar yang akan dan telah terjadi di dalm Al-Qur’an. Hal ini
sebagaimana yang telah disebutkan dalm QS. Al-Baqarah ayat 3 tentang kewajiban
untuk beriman kepada yang ghoib. Dalam ayat tersebut jukga menggandngkan antara
sholat dengan kepercayaan terhadap makhluk ghoib.
~ kedua, seorang muslim harus beriman kepada takdir, baik maupun
buruk. Misalnya, apabila ada gangguan jin yang menimpa seorang muslim, maka
harus dipercayai sebagai takdir.
~ Ketiga, seorang muslim harus selalu berusaha untuk bersabar dalam menjalani
takdir.
Takut kepada jin? Jangan pernah merasa takut kepada setan dan jin. Dalam
QS. Al-A’rof ayat 27 dikatakan bahwa setan tidak ada yang benar, dia selalu
berkhianat dan membawa kesesatan. Hanya orang yang tidak berimanlah yang
menjadikan setan dan jin sebagai pemimpin. Allah telah menciptakan manusia sebagai
ciptaan yang paling mulia dia antara makhluk yang lain sebagaimana dalam
QS. Al-Isro ayat 70. Abu Bakar Al Jaziri berkata bahwa sesungguhnya jika
terdapat jin yang paling sholih dalam golongan jin, maka manusia lebih mulia
daripada dia. Sehingga kita tidak boleh takut kepada jin, menghormati jin
bahkan meminta perlindungan kepada jin (QS. Al-Jin ayat 6), naudzubillahi
min dzalik. Kita sering menyaksikan di masayarakat, misalnya ketika
melewati jembatan yang konon “ada yang menunggu” , maka pengemudi akan
membunyikan klakson terlebih dahulu agar tidak diganggu. Nah, praktik seperti
ini adalah tidak ada syariatnya. Hal ini merupakan bagian dari penghormatan
terhadap jin. Padahal, semakin jin dihormati maka dia akan menjadi semakin
besar kepala.
Apa yang dimaksud dengan Jin?
Kata jin berasal dari jana-yajinu yang berarti sesuatu
yang terhalang. Disebut janah yaitu surga yang ditutupi oleh
pohon yang rindang. Tameng atau alat pelindung orang yang berperang
disebut jina. Orang gila disebut majnun yang
artinya akal pikiran telah tertutup. Asal usul jin sebagaimana disebutkan dalam
QS. Al-Hijr ayat 26-27 bahwa jin diciptakan dari api yang sangat panas. Seorang
muslim tidak akan pernah dapat melihat jin dalam rupa aslinya kecuali
jin tersebut menjelma dalam bentuk manusia maupun binatang.
Jin
hidup pula seperti manusia, yaitu berkabilah maupun bersuku-suku. Jin terdiri
dari tiga jenis:
Pertama, jin dari bangsa yang terbang
di luar angkasa. Ini merupakan jin yang tertinggi pangkatnya yang sering
mencuri berita dari langit. Mereka biasanya bersekutu dengan tukang sihir.
Kedua, jin dari kelompok ular dan
anjing. Mereka biasanya berwarna hitam.Jin dalam wujud ular dahulu ada pada
zaman Rasulullah SAW.Apabila melihat ular maupun anjing kita tidak boleh
membunuhnya secara langsung.Kita diperintahkan untuk mengusirnya terlebih
dahulu dengan menyebut asma Allah sebanyak tiga kali, baru kemudian membunuhnya
apabila binatang tersebut tidak mau pergi.
Ketiga, jin dari kelompok berkaki dua
dan berkaki empat. Misalnya jin yang berwujud manusia. Sahabat nabi, Abu
Hurairan pernah suatu ketika didatangi oleh jin yang berwujud orang tua. Jin
tersebut mencuri di baitul mal, pergi selama berkali-kali kemudian
ditangkap.Jin tersebut juga mengajari ayat kursi kepada Abu Hurairan. Para
ulama menyepakati tentang diperbolehkannya menerima ajaran jin tersebut, karena
mengandung kebaikan.
Dalam QS.Az-Zariyat ayat 56 dan QS.Al-Ahqaf ayat 29
dikatakan bahwa diciptakannya jin adalah untuk beribadah kepada Allah. Apakah
antara jin dan manusia dapat melakukan perkawinan ?Ibnu Taimiyah berkata bahwa
keduanya dapat berkawin dan memiliki keturunan. Para ulama juga bersepakat
bahwa keduanya dapat terjadi perkawinan antara jin dan manusia.
Dimanakah tempat tinggal jin?
Ø
Pertama, tanah lapang, lembah-lembah dan lereng-lereng.Kita
tidak boleh membiarkan tanah kosong yang tidak ditempati sebagai tempat bermain
anak-anak.
Ø
Kedua, tempat sampah dan tempat yang terdapat makanan.
Ø
Ketiga, tandas dan tempat berwudhu.
Ø
Keempat, tanah-tanah yang retak, lubang-lubang maupun
gua.
Ø
Kelima, tinggal bersama manusia di rumah.
Ø
Keenam, kandang onta sebagaimana sebuah hadits yang mengatakan
bahwa Rasulullah SAW melarang sholat di kandang onta.
Ø
Ketujuh, tempat yang ditinggal oleh tuannya.
Ø
Delapan, kuburan sebagaimana hadits yang mengatakan bahwa semua
tempat di bumi ini adalah suci kecuali kuburan dan kamar mandi.
Ø
Sembilan, di pasar-pasar.Terdapat sebuah hadits yang melarang
kita untuk menjadi orang pertama dalam pasar dan melarang menjadi orang
terakhir yang berada di pasar.
D. Implementasi Keimanan Kepada Makhluk Ghoib
Islam
adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan penyempurna bagi ajaran
para Nabi sebelum Nabi MuhammadShallallahu’alaihi wa sallam, agama
yang telah memadukan antara konsep keilmuan yang benar dengan konsep keimanan
yang lurus. Keilmuan yang berasaskan keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh
keilmuan.
Adapun keilmuan semata tanpa
memperdulikan norma-norma keimanan, maka kesudahannya adalah kebinasaan,
sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan yang sejenisnya.Demikian pula
keimanan (termasuk di dalamnya amalan) semata tanpa memperdulikan keilmuan,
kesudahannya adalah kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang
sejenisnya.Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai
agama wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala
bentuk sikap berlebihan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata:”Oleh karena itu, di antara para imam
penulis kitab hadits yang menggunakan metode penyusunan berdasarkan babnya, ada
yang melulai penyusunannya dengan (menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok
keilmuan dan keimanan. Sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam
kitab Shahih-nya, yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad’il
Wahyi (awal mula turunnya wahyu); yang merinci tentang kondisi
turunnya ilmu dan iman kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian
mengiringinya denganKitabul Iman yang merupakan asas keyakinan
terhadap apa yang dibawa Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam,
setelah itu diiringi dengan Kitabul Ilmi yang merupakan
perangkat untuk mengenal apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam, demikianlah tertib penyusunan yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu
Muhammad Ad-Darimi”.
Alam ghoib ibarat
alam yang gelap gurita, sedangkan al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu’alaihi
wa sallam ibarat dua cahaya yang terang benderang. Dengan dua cahaya
itulah berbagai peristiwa dan kejadian di alam ghoib tersebut
menjadi jelas dan terang. Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk
mengembalikannya kepada firman Allah (al-Qur’an) dan petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam (al-Hadits).
Bila
demikian, berarti semua perkara ghoib haruslah ditimbang
dengan timbangan Islam yaitu; al-Qur’an dan al-Hadits dengan pemahaman para
shahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Jika perkara ghoib (baca:
yang dianggap ghoib) ternyata tidak ada keterangannya di dalam
al-Qur’an dan al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh diimani dan diyakini.
Dan jika perkaraghoib tersebut diterangkan di dalam al-Qur’an dan
al-Hadits, baik berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di
masa datang, serta berbagai keadaan di akhirat, maka keberadaannya harus
diimani dan diyakini, walaupun pandangan mata dan akal kita tidak
menjangkaunya.
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Iman kepada perkara ghoib ini mencakup
keimanan kepada semua yang Allah Subhanahuwa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu’alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghoib di masa
lampau dan di masa yang akan datang, bebagai keadaan di hari kiamat, dan
tentang hakekat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Beriman
dengan (adanya) perkara ghoib yang diberitakan Allah Subhanahu
wa Ta’aladan Rasul-Nya merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa.
Sedangkan tidak beriman dengan perkataghoib tersebut merupakan ciri
orang kafir atau ahli bid’ah. AllahSubhanahu wa Ta’alaberfirman:
Artinya: “Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.(Yaitu) mereka yang beriman kepada
perkara ghoib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami
anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al-Baqarah : 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Hakikat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap semua yang diberitakan
para Rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud disini bukanlah yang berkaitan
dengan perkara yang bisa dijangkau panca indera, karena dalam perkara yang
seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi
permasalahannya berkaitan dengan perkara ghoibyang tidak bisa kita
lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita yang
datang dari AllahSubhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi
wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim dengan kafir, yang
mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-NyaShallallahu’alaihi wa
sallam. Maka seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang diberitakan Allah
dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan oleh panca inderanya maupun yang tidak
dapat disaksikannya.Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya maupun
yang tidak dapat dijangkaunya. Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang
menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran) dan para pendusta
perkara ghoib (yang telah diberitakan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-NyaShallallahu’alaihi wa sallam).
Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang
pendek. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal
(pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah Subhanahu
wa Ta’ala”.
Al-Iman Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu berkata:
“(Setiap muslim,-pen) wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi Shallallahu’alaihi
wa sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari
beliau Shallallahu’alaihi wa sallam, baik perkara tersebut
dapat dilihat mata maupun yang bersifat ghoib. Kita mengetahui
(baca; meyakini) bahwa semua itu benar, baik yang dapat dijangkau akal maupun
yang tidak bisa dijangkau dan tidak dimengerti hakikat maknanya”.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam berita yang
diriwayatkan secara shahih dari NabiShallallahu’alaihi wa sallam maka
benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca
indera kita maupun yang bersifat ghoib,baik yang dapat dijangkau
oleh akal kita maupun yang tidak”.
Demikianlah manhaj(prinsip)
yang benar di dalam menyikapi alam ghoib dan berbagai
peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan
berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
Artinya: “Maka orang-orang yang beriman kepadanya
(Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka
itulah orang-orang yang beruntung”.(QS. Al-A’raf : 157)
Dari
bahasa di atas dapatlah diambil pelajaran bagi kaum muslimin bahwa:
1. Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghoib dan
semua peristiwanya yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan panca indera maupun yang
tidak
2. Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal
kesehatan.
3. Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari
AllahSubhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tentang alam ghoib dan
peristiwanya, dengan pemahaman Rasulullah, para shahabat Rasulullah (as-salafush
shalih), karena dia merupakan jalan yang lurus. Dan tidak dengan pemahaman
ahli, filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyah yang
menyesatkan.
BAB III
PENUTUP
Demikian yang dapat penyusun paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, Penyusun menyimpulkan masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi
yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penyusun banyak berharap para
pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penyusun demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan –
kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya
Comments
Post a Comment